Home / Opini / Pemilu Serentak 2024 dan Peran Lembaga Pengawas

Pemilu Serentak 2024 dan Peran Lembaga Pengawas

Bagikan Artikel ini:

Oleh : Klara Isabela Wisang

PEMILIHAN Umum atau yang disingkat Pemilu merupakan sebuah momentum pesta demokrasi untuk memilih figur yang dianggap bisa memimpin, mengayomi bahkan merealisasikan harapan masyarakat melalui kebijakan pembangunan yang strategis.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 secara spesifik menyebut, Pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional, diperlukan pengaturan pemilihan umum sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi menjamin konsistensi dan kepastian hukum.

Seperti diketahui, Pemilihan Umum tahun 2024 merupakan Pemilu 7 kotak, dimana masyarakat yang oleh undang-undang telah memenuhi syarat diberi ruang untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota, serta Gubernur dan Bupati/Walikota.

Rapat kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin 24 Januari 2022 yang dilansir sejumlah media online telah menyepakati tahapan dan jadwal pelaksanaan Pemilu serentak 2024.

Dalam rapat disepakati, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) berbarengan dengan Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota dan anggota DPD RI akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Sementara, Pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota diselenggarakan serentak di seluruh daerah pada 27 November 2024.

Kesepakatan ini kemudian ditetapkan oleh pemerintah dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024. Pelaksanaan tahapan dan jadwal sendiri dimulai pertengahan bulan Juni 2022, mengacu pada ketentuan Pasal 167 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang UU Pemilu yang menyebut bahwa tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai 20 bulan sebelum hari pemungutan suara.

Peran Lembaga Pengawas

Pemilu Tahun 2024 menghadirkan warna baru dalam sistim perpolitikan Indonesia. Dimana, masyarakat pada tahun yang sama diberi kesempatan memilih langsung Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta Kepala Daerah masing-masing melalui proses yang disebut Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).

Baca Juga:  KAIMANA PU BATIK

Jika sebelumnya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dilaksanakan secara terpisah dari pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, bahkan Pilkada yang disesuaikan dengan berakhirnya masa jabatan kepala daerah, namun tahun 2024 beberapa momentum ini dilaksanakan sekaligus, meskipun ada jedah waktu antara Pemilu 5 kotak dengan Pilkada.

Adapun landasan hukum Pemilu Tahun 2024 adalah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan tiga lembaga khusus selaku penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Tahapan Pemilu berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 tahun 2022 tanggal 9 Juni 2022 telah dimulai sejak 29 Juli 2022, yang diawali pendaftaran dan verifikasi peserta Pemilu, dilanjutkan penetapan peserta Pemilu pada 14 Desember 2022 sesuai amanat Pasal 178 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Pada salah satu pasal UU Pemilu yakni pasal 3 mengatur tentang 11 prinsip penyelenggara pemilu, yakni mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.

Tidak bisa dipungkiri, dalam pelaksanaan tahapan Pemilu, biasanya ada permasalahan yang bakal muncul dan mengganggu jalannya proses, seperti yang biasa terjadi selama ini. Diantaranya, data pemilih yang tidak akurat, menurunnya semangat warga dalam menggunakan hak pilih, penggunaan alat peraga kampanye yang tidak sesuai, kampanye hitam, politik uang dan lainnya.

Oleh karenanya, menghadapi tantangan Pemilu serentak di tahun 2024, perlu terciptanya situasi yang kondusif. Para penyelenggara pemilu harus berkomitmen melaksanakan seluruh tahapan Pemilu dengan baik, agar demokrasi tetap hidup dan semakin berkualitas.

Upaya mendorong masyarakat agar menggunakan hak pilih secara rasional, membangun kerjasama yang baik antara institusi maupun lembaga pemerintah atau swasta perlu dilakukan, agar kepercayaan publik terhadap penyelenggara Pemilu benar-benar terjaga, sehingga pemilu dapat berjalan aman, lancar dan damai, serta menghasilkan sosok pemimpin atau keterwakilan yang benar-benar berkualitas.

Permasalahan klasik dalam pelaksanaan Pemilu, seperti data pemilih yang tidak akurat, menurunnya semangat warga dalam menggunakan hak pilih, penggunaan alat peraga kampanye yang tidak sesuai, kampanye hitam, politik uang dan lainnya, membutuhkan kerja keras dan kerja luar biasa dari penyelenggara Pemilu yang terdiri KPU, Bawaslu dan DKPP.

Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni pasal 6 hingga 38 mengatur secara khusus tentang kelembagaan, tugas, wewenang dan kewajiban lembaga penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU dari tingkat pusat hingga kecamatan bahkan luar negeri; pasal 89 hingga 154 mengatut tentang lembaga Bawaslu dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, luar negeri, bahkan hingga tingkat TPS; serta pasal 155 hingga 166 mengatur tentang lembaga DKPP.

Baca Juga:  Pembelajaran Matematika Saat Pandemi Covid-19 di Kabupaten Kaimana

Salah satu yang menarik perhatian dalam pelaksanaan Pemilu belakangan ini adalah terjadi lompatan besar dari keberadan lembaga pengawas pemilu  pada perhelatan Pemilu 2009. Dikutip dari website bawaslu.gi.id dengan judul ‘Transformasi Kewenangan Bawaslu dari Regulasi ke Regulasi’ disebutkan, jika pada masa-masa sebelumnya lembaga pengawas pemilu bersifat sementara atau Ad Hoc, berdasarkan Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2007 lembaga pengawas pemilu bersifat tetap serta berubah nama menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).

Perubahan kedudukan Bawaslu juga beriringan dengan penguatan Bawaslu secara kewenangan. Dalam UU No.22/2007 dan UU No.42/2008, tugas dan wewenang Bawaslu adalah mengawasi tahapan pemilu sesuai dengan UU, menerima laporan dan dugaan pelanggaran, serta memberikan rekomendasi atas temuan pelanggaran kepada KPU atau  intansi berwenang lainnya. Panitia Pengawas (Panwas) Kabupaten/Kota diberikan wewenang untuk menyelesaikan temuan dan laporan sengketa pemilu, apabila tidak mengandung unsur tindak pidana.

Selanjutnya, pada UU No.15/2011 ada tiga tugas dan kewenangan Bawaslu sebagai institusi pengawas pemilu dalam konteks penegakan hukum pemilu. Pertama, melaksanakan pengawasan terhadap seluruh tahap proses penyelenggaraan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran Pemilu. Kedua, menerima dan mengkaji laporan mengenai dugaan pelanggaran ketentuan administrasi pemiu dan dugaan pelanggaran ketentuan pidana pemilu. Ketiga, menyelesaikan sengketa administrasi pemilu secara final dan  mengikat kecuali untuk dua hal sengketa. Kedua hal yang dimaksud adalah sengketa administrasi penetapan peserta pemilu dan sengketa penetapan daftar calon anggota DPR dan DPRD.

Posisi Bawaslu sebagai penyelesai sengketa pemilu selanjutnya diperkuat oleh UU Nomor 10/2016 yang menyatakan putusan Bawaslu bersifat mengikat. Akan  tetapi, Bawaslu bukan satu-satunya lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilu sehingga seringkali menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.

Penguatan kewenangan Bawaslu berikutnya ada dalam UU No.7 Tahun 2017. Salah satu penguatannya yaitu temuan Bawaslu tidak lagi berupa rekomendasi, tetapi sudah menjadi putusan, Bawaslu sekarang memiliki kewenangan memutus pelanggaran administrasi sehingga temuan pengawas pemilu tidak hanya bersifat rekomendasi tetapi bersifat putusan/keputusan yang harus dilaksanakan oleh para pihak.

Secara rinci, pasal 95 UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan Bawaslu berwenang untuk menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan pemilu. Bawaslu juga berwenang memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran baik pelanggaran administrasi pemilu maupun pelanggaran politik uang. Lalu dalam sengketa proses pemilu, Bawaslu berwenang menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian yang diajukan peserta pemilu.

Referensi:  UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, PKPU, berita web bawaslu.go.i, berita kompas.com.

 

Penulis adalah Ketua PWI Kabupaten Kaimana


Bagikan Artikel ini:

Check Also

Kemerdekaan Pers: Dewan Pers Tidak Perlu Minta Perusahaan Pers Melakukan Pendaftaran

Bagikan Artikel ini: Oleh Wina Armada Sukardi, pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik Ini …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *